Buncisan merupakan nama salah satu kesenian lokal setempat yang dipentaskan dalambentuk seni pertunjukan di wilayah persebaran budaya Banyumasan.
Pemain seni Buncisan terdiri dari 8 orang pemain yang melakukan tarian sambil bernyanyi sekaligus menjadi musisinya. Adapun nyanyian yang dibawakan oleh para pemain adalah lagu-lagu tradisional Banyumasan.
Para pemain dalam pertunjukannya membawa alat musik angklung beralas slendro, masing-masing membawa satu buah alat musik yang berisi satu jenis nada berbeda, enam orang diantaranya memegang alat bernada 2 (ro) 3 (lu) 5 (ma) 6 (nem) 1 (ji tinggi) dan 2 (ro tinggi), dua orang yang lain memegang instrumen kendhang dan gong bumbung.
Dalam membangun sajian musikal masing-masing pemain menjalankan fungsi nada sesuai dengan alur balungan gending. Dari alat-alat musik yang demikian mereka mampu menyajikan gending-gending Banyumasan.
Buncisan di Banyumas memiliki beberapa karakter dan salah satu karakter Buncisan tersebut dapat dijumpai di desa Tambaknegara, Kecamatan Rawalo yang hingga kini masih menjadi pelestari kesenian tersebut.
ENGLISH:
Buncisan Buncisan is a name of one of the local arts that is staged in the form of performing arts in Banyumasan cultural division area.
The Buncisan art consists of 8 players who perform dances while singing as well as being musicians. The songs performed by the players were traditional Banyumasan songs.
The players in the show play angklung instruments with a based-on slendro tone, and each presents a musical instrument containing one different type of tone. Six of them hold the instrument pitched 2 (ro) 3 (lu) 5 (ma) 6 (nem) 1 (ji high) and 2 (ro high) and the other two hold kendhang and gong bumbung instruments.
In performing this musical art, each player performs the function of the tone according to the groove of the musical balungan gendhing. The collaboration of these musical instruments makes them able to present Banyumasan repertoires. Buncisan in Banyumas has several characters and one of the characters of Buncisan can be found in Tambaknegara village, Rawalo District, which is still a preserver of the art.