-
PPID
- Formulir Keberatan Permohonan Informasi
- Daftar Informasi Publik
- Daftar Informasi Yang Dikecualikan
- Profil PPID Pembantu
- Transparansi
- Pelayanan Informasi
- Informasi Serta Merta
- Informasi Berkala
- SK PPID
- Informasi Setiap Saat
- Formulir Permohonan Informasi
- Tupoksi dan Struktur Organisasi PPID
- Survey Kepuasan Masyarakat
- Standard Pelayanan
Tutupan Sadran Kalitanjung Tambaknegara Rawalo
Rawalo - Tradisi ritual tutupan sadran adalah tradisi yang dilakukan setiap malam 25 atau 27 sebelum bulan Ramadhan. Berlokasi di dusun Kalitanjung Desa Tambak Negara Kecamatan Rawalo Kabupaten Banyumas dilaksanakan Minggu (13/5).
Menelisik sejarah setempat dari Mbah Budi Somaputera, yang juga merupakan juru Situs Pemandian Kalibacin yang berada tidak jauh dari tempat digelarnya tutupan sadran ini, menyatakan bahwa Kasepuhan adat yang tinggal di Kalitanjung ini yang merupakan bekas Kadipaten Bonjok yang berdiri pada tahun 1503 dan kini menjadi Desa Tambaknegara. Kadipaten Bonjok itu merupakan kekuasaan Kadipaten Pasirluhur dibawah kerajaan Mataram. Dahulu Kadipaten Bonjok ini terkenal sebagai penghasil minyak biji nagasari yang dijual ke luar daerah sampai ke Jawa Barat. Pada jaman dahulu, rumah-rumah adipati sampai bupati menggunakan minyak yang dipesan dari Kadipaten Bonjok ini karena wangi dan semerbak.
Adapun adipati yang pernah memerintah Kadipaten Bonjok adalah Wiranegara, Suranegara, Mertanegara, Mertagati dan Sabdogati.
Kadipaten ini berada dibawah pengaruh Hindu dan Islam, seiring berkembangnya agama Islam dari Demak hingga wilayah Banyumas, dan Adipati Mertanegara pun menjadi penganut agama Islam pada waktu itu, dan lebih suka dipanggil Kyai Mertanegara, dan melahirkan adanya kelompok adat istiadat kejawen. Kadipaten Bonjok yang kini menjadi Desa Tambaknegara ini mempunyai 4 (empat) grumbul, yaitu Kalitanjung, Karangdadap, Bonjok dan Kaliwangi. Di Grumbul Kalitanjung, terdapat Balai Malang yang konon sudah tertera di Musjarahkala (Museum Sejarah dan Kepurbakalaan) dan dilansir sudah ada sejak tahun 1892.
Di Balai Malang yang dulu adalah tempat sumber ilmu para sesepuh Kalitanjung ini dan juga dimana para peziarah beristirahat, tempat dilaksanakan pagelaran wayang kulit kami bertemu Pak Suwardi tokoh adat setempat dan juga Kyai Guru yang membawahi semua kelompok adat yang ada di sana. Balai Malang yang dinamakan demikian karena posisi bangunan tersebut adalah malang/melintang sampai sekarang masih dijaga keasliannya, menyimpan benda-benda keramat yang hanya dibuka setahun sekali yaitu pada hari raya Idul Fitri hari ke-2. Terdapat disana beberapa pithi/besek/wadah yang berisi kain putih, yang diriwayatkan merupakan titipan dari Amangkurat Kerajaan Mataram dan dipercaya merupakan pertanda bagi masyarakat sekitar apabila muncul kain yang baru maka banyak yang akan meninggal.
Di area komplek Balai Malang juga terdapat makam leluhurnya atau masyarakat sekitar menyebut dengan makam Mbah Agung Wetan, Mbah Agung Tengah dan Mbah Agung Kedawung. Disanapun banyak peziarah yang datang. Kekhususan ritual sadran di Kalitanjung ini adalah memberi batas bagi para peziarah ke makam leluhur yang juga banyak datang dari luar daerah bahkan luar pulau Jawa. Jadi apabila telah menjelang malam pertama puasa atau jika bulan Ramadhan telah tiba, peziarah dilarang untuk ziarah ke malam para leluhur kecuali para sesepuh yang memang khusus serta harus melaksanakan ritual di makam pada malam pertama puasa. Karena itulah tradisi ritual nyadran di Kalitanjung ini lebih dikenal dengan nama tradisi ritual tutupan sadran, yang dimaksudkan pada saat ritual tersebut sedang atau telah dilaksanakan, maka saat itu juga aktifitas ziarah dihentikan untuk sementara, sampai ramadhan telah usai.
Disekitar Balai Malang, terdapat pula Sasana Adirasa Pangleremaning Driyo yang artinya tempat dimana mendapatkan rasa yang baik untuk menentramkan angan-angan. Jadi berada di tempat itu adalah untuk nguri-uri budaya warisan leluhur. Tempat ini merupakan sanggar, ataupun rumah adat yang berisi gamelan dan perangkatnya. Pada acara tutupan sadran Kalitanjung ini banyak dijumpai orang-orang yang menggunakan seragam beskap dan kain batik Banyumasan. Yang menjadi paugeran atau panutan adalah Guru. Kemudian Tundagan adalah orang-orang yang menyampaikan apa yang disampaikan oleh Guru. Menurut penjelasan pemangku adat Pak Muharto, memang ada keterkaitan dengan Bonokeling yang merupakan menantu dari Mbah Agung.
Tradisi tutupan sadran Kalitanjung ini dilaksanakan dengan mengadakan pagelaran wayang kulit semalam suntuk seperti pada Minggu (13/5) kemarin, dengan Ki Dalang Untung Widodo dari Sampang, dan dihadiri oleh Kepala Desa Tambak Negara dan Forkompincam Rawalo. Ciri khas dari pagelaran wayang di Dusun Kalitanjung ini adalah wajibnya pesinden lanang (laki-laki). Tidak boleh tidak. Harus laki-laki. Tradisi ini sudah berlangsung turun temurun dari generasi sebelumnya dan tidak dimiliki oleh dusun lainnya di Desa Tambaknegara ini. Seperti apa yang disampaikan Mbah Budi Somaputera, di Kalitanjung perempuan itu tidak dibolehkan tampil sebagai tontonan tidak hanya di sadranan, tp juga di acara ruwat bumi, juga sedekah bumi yang juga menggelar wayang. Itulah sebabnya sinden haruslah laki-laki. Sebuah kearifan lokal yang patut dijaga sebagai ciri khas kebudayaan setempat.
* Kyai Guru (beskap hitam dan berjarit) di Balai Malang Dusun Kalitapen
* Sinden lanang yang tampil pada pagelaran wayang tutupan sadran
* Peziarah di makam Wetan
* Sasana Adirasa Pangleremaning Driyo
* Masih ada kekerabatan dengan Bonokeling