Masjid Saka Tunggal - Wangon

Jumat, 19 Pebruari 2016 | 20865 Kali
Masjid Saka Tunggal - Wangon

Masjid Saka Tunggal terletak di desa Cikakak kec. Wangon berjarak 30 Km arah Barat daya kota Purwokerto. Dinamakan masjid Saka Tunggal, karena memang hanya memiliki satu pilar utama penyangga. Disekitar masjid terdapat makam seorang penyebar agama islam yang bernama Kyai Mustolih. Berdasarkan cerita narasumber yaitu KGPH Dipo Kusumo dari Keraton Surakarta Hadiningrat dan Drs. Suwedi Monanta, seorang peneliti Arkeologi Islam dari Puslit Arkenas Jakarta pada tanggal 29 Januari 2002 dijelaskan bahwa sebagai berikut :

Sunan Panggung adalah salah seorang dari kelompok Wali Sanga yang merupakan murid syech Siti Jenar. Sunan Panggung meninggal pada masa Sultan Trenenggono di Demak Bintoro antara tahun 1546-1548 M. Menurut Serat Cabolek, Sunan Panggung dihukum dengan cara dibakar atas kesalahannya menentang suatu syariat. Namun demikian dalam hukumnya tersebut ia tidak mati, bahkan saat itu mampu menulis suluk yang kemudian dikenal dengan sebutan Suluk Malangsumirang.

Sunan Panggung menurunkan anak bernama Pangeran Halas. Pangeran Halas menurunkan Tumenggung Perampilan. Tumenggung Perampilan menurunkan Kyai Cikakak. Kyai Cikakak menurunkan Resayuda. Kyai Resayuda menurunkan Ngabehi Handaraka, dan Ngabehi Handaraka menurunkan Mas Ayu Tejawati, Istri Amangkurat IV, yang menurunkan Hamengkubuwana, Raja Ngayogyakarta Hadiningrat.

Kyai Cikakak yang merupakan keturunan ketiga Sunan Panggung tidak diketahui nama aslinya. Nama “Kyai Cikakak” diperkirakan merupakan sebutan, karena ia bertempat tinggal di Desa Cikakak. Di Desa inilah Kyai Cikakak mendirikan sebuah masjid dengan keunikan tersendiri, yaitu dengan tiang utama tunggal (saka tunggal) yang masih lestari hingga saat ini

Masjid saka tunggal di bangun di tempat suci “Agama Kuno” (agama yang berkembang sebelum masuknya agama Hindia Budha) yang dapat dibuktikan sekitar masjid terdapat sebuah batu menhir yang merupakan tempat untuk kegiatan ritual : “agama kuno” dibangun pada tahun 1522 M. Disekitar tempat ini terdapat hutan pinus dan hutan besar lainnya yang dihuni oleh ratusan ekor kera yang jinak dan bersahabat, seperti di Sangeh Bali.

Saat ini masjid saka tunggal belum kehilangan sama sekali wajah aslinya. Bedanya, gebyok kayudan gedek bambu yang semula menjadi dinding masjid ini telah diganti dengan tembok

Keunikan masjid ini juga terasa pada tradisionalisme keagamaan umat yang beribadah di dalamnya. Setiap akan shlat berjamaah selalu didahului dengan puji-pujian atau ura-ura yang dilagukan, seperti kidung jawa. Beberapa jemaah menggunakan udeng atau ikat kepala biru bermotif batik.

Tata cara shalat jamaah di masjid kuno ini tidak jauh berbeda dengan masjid-masjid lain pada umumnya. Khusus pada jamaah shalat jumat, jumlah muazin atau orang yang mengumandangkan azan ada empat. Selain itu, semua rangkaian shalat jumat dilakukan berjamaah, mulai dari shalat tahiyatul masjid, khoblaljuma’ah, shalat jumat, ba’dla jum’ah. Shalat dhuhur, hingga ba’dal dzuhur. Semuanya muazin mengenakan baju panjang warna putih dan udeng atau ikat kepala khas jawa warna biru bermotif batik.

 

 

 

ENGLISH:

Saka Tunggal Mosque- Wangon
Saka Tunggal Mosque is situated in Cikakak, a District in Wangon, located approximately 30 km southwest away from the city center of Purwokerto. It is named after Saka tunggal (one pillar) as it has only one main pillar (saka) supporting its structure. Around this mosque is a resting place of a moslem propagator called Kyai Mustolih. Based on a reliable information notified by KGPH Dipo Kusumo of Surakarta Hadiningrat palace and Drs. Suwedi Monanta, an Islamic Archeology researcher from the Jakarta Arkenas research center on January 29,2002, it is affirmed as follows.
Sunan Panggung is one of Syech Siti Jenar’s disciples who passed away during the reign of Sultan Trenggono in Demak Bintaro in the era of 1546-1548 AD. According to Serat Cabolek, Sunan Panggung was convicted of being burned for violating Sharia. Surprisingly, he survived even at that time he succeeded in composing a Suluk (a kind of primeval literary work) later known as Malang Sumirang Suluk.
According to a history, Sunan Panggung had a son called Prince Hallas who then has a grand-son called Kyai Cikakak, the son of Tumenggung Perampilan. From his marriage, kyai Cikakak had a son named Resayuda who was the father of Ngabehi Handaraka. Ngabehi Handaraka has a daughter named Mas Ayu Tejawati who then got married with Amangkurat IV. From their marriage, mas Ayu Tejawati and Amangkurat IV had a son called Hamengkubuwana who then became the king of Ngyogyakarta Hadiningrat.
There is no clear information about the real name of Kyai Cikakak who was the third descendant of Sunan Panggung. The name “Kyai Cikakak” is presumed to be a designation as he resided in the village of Cikakak. In this place, Kyai Cikakak built a mosque with its distinctive features, which have only one main pillar that is still sustainable up to present time.
Saka Tunggal mosque was built at the shrine of “Ancient religion” (A religion developed before the advent of Indian Budhism). It was proven by the presence of a “menhir” stone as a site for ritual activities that was put up in 1522 AD. Around that place lies a pine forest and other large forests inhabited by hundreds of tame monkeys, like those found in Sangeh, Bali.
Saka Tunggal Mosque has not lost its original appearance up to present time. The only adjustment is on its “gebyok” (a kind of traditional partition) that is originally made of wood and bamboo, now it is replaced by a solid wall.
The uniqueness of this mosque could also be seen from the religious traditionalism of the people performing the worship in this place. They usually wear blue headbands with batik motifs while they are reciting prayers preceding congregation in this mosque.
In general, the procedure of congregational prayers in this ancient mosque is not different compared to that of the other mosques. The exception is that in Friday prayer, there are four muezzins who make the call for performing the prayer. In addition, all the Friday prayer series are held together in congregation, starting from Tahiyatul Masjid prayer, Khoblaljuma’ah, Friday prayer, ba’dla Jum’ah, Dzuhur prayer, up to ba’dla dzuhur prayer. Besides, all the muazzins would wear white long sleeved clothes as well as typical blue Javanese headbands with batik motifs.

JAPANESE:

サカ・トゥンガル・モスク

サカ・トゥンガル・モスクは30キロの距離でチカカク村ワンオン地区の南西に位置しています。サカ・トゥンガル・モスクと呼ばれている理由は、そのモスクにはただ唯一のメイン柱を持つからです。モスクの周りには、キャイ・ムストリというイスラム教の説教者の墓があります。2002年1月29日に情報提供者としてスラカルタ・ハディニンラット宮殿、KGPHディポ・クスモ氏とジャカルタのアルケナス研究センターのイスラム考古学研究者、スウェディ・モナンタ氏は次のように説明しました。
スナン・パンウンは、ワリ・サンアのグループの一人としてシェ・シティ・ジェナーの弟子です。スナン・パンウンは、スルタン・トレンゴノの時代でデマク・ビントロに1546-1548年の間に死亡しました。スラト・チャボレクによると、スナン・パンウンはある宗教のルールを破って、罰として彼は焼け出されました。しかし、罰を与えたときに彼は死なないで、スルクまで書けて、それがスルク・マランスミランとして知られるようになりました。
スナン・パンウンは息子のハラス王子を育ちました。ハラス王子の息子はトゥメングン・プランピランです。トゥムングン・ペランピランの子孫はキャイ・チカカクです。キャイ・チカカクの子孫はレサユダです。キャイ・レサユダの子孫はンアベヒ・ハンデラカで、ンアベヒ・ハンデラカの子孫はマス・アユ・テジャワティ、彼女がアマンクラトIVと結婚し、ンアヨギャカルタ・ハディニンラトの王であるハムンクブワナを生み出しました。
スナン・パングンの3番目の子孫であるキャイ・チカカクは、本名が知られていませんでした。「キャイ・チカカク」の名前の由来はおそらく彼がチカカク村に住んでいますから。この村でこそ、キャイ・チカカクはモスクを設立し、特徴的な良さである唯一のメイン柱(サカ・トゥンガル)が現在でも持続しています。
サカトゥンガルモスクは「古代宗教」(仏教が入国前に広まる宗教)の聖地に建てられて、その証拠はモスクの周りには「古代宗教」の儀式活動の場であるメンヒル石が1522年に発見されました。この場所の周りには松林や大きい森がサンエ村バリ県のように良性で友好的な猿が何百も生息しています。
現在、サカ・トゥンガルモスクは、元の姿を全く失っていません。昔と現在の違いは、もともとこのモスクの壁だった木製のグビョク木材とゲデク竹は頑丈な壁に置き換えられているだけです。
このモスクの独自性は、モスクの中に教徒の伝統的な宗教の習慣も感じられます。礼拝を行う前に、すべての参拝者はいつも賛美、あるいはウラウラ、ジャワの歌のような賛美を行います。一部の参拝者は、バティックパターンのウドゥン、または青いヘッドバンドを被ります。
この古代のモスクで礼拝者を祈る手順は、一般的に他のモスクとあまり変わりません。特に金曜日の礼拝では、ムアジン、あるいはアザンを唱えている人の数は4人です。さらに、金曜日の礼拝はすべて、タヒヤトゥルモスクの祈り、フトバジュムア、金曜日礼拝、その後の礼拝まで、会衆に行います。ズフル礼拝からその後の礼拝までです。すべてのムアジンは、長く白いシャツとウドゥン、またはジャワ風な青いバティックパターンのヘッドバンドを着用します。

 

Translated By:

Dyah Raina Purwaningsih
Tri Wahyu Setiawan Prasetyoningsih
Dian Bayu Firmansyah

Fakultas Ilmu Budaya
UNIVERSITAS JENDERAL SOEDIRMAN PURWOKERTO 2022

 

Komentar