Ebeg merupakan istilah kesenian kuda lumping atau jaran kepang untuk wilayah sebaran budaya Banyumasan. Pertunjukkan ebeg umumnya diiringi oleh gamelan ataupun calung dengan jumlah penari 6-20 orang atau lebih. Perlengkapan tarian ebeg ini menggunakan kuda-kudaan yang terbuat dari anyaman bambu serta dilengkapi dengan beragam sesaji. Babak adegan ebeg dimulai dari tari-tarian, janturan dan gapetan yang dipimpin oleh seorang penimbul/dalang. Pada saat janturan para pemain umumnya kesurupan roh (indhang) dengan karakter tingkah yang berbeda-beda dan proses mengembalikan kesadarannya dilakukan oleh sang penimbul. Saat ini ebeg tidak hanya dimainkan oleh kaum pria, beberapa grup juga seringkali menampilkan penari dan penimbul ebeg wanita.
{Diterjemahkan dalam bahasa Mandarin oleh Farras Alwan Raihan (Unsoed Purwokerto 2021)}
ENGLISH:
Ebeg Ebeg is a term for kuda lumping art or jaran kepang (traditional Javanese dance using horse dolls made of woven bamboo) for the Banyumasan cultural distribution area. Ebeg shows are generally accompanied by gamelan or calung with 6-20 dancers or more. This ebeg dance equipment consists of a horse made of woven bamboo and is equipped with various offerings. The ebeg scene starts with dances, janturan and gapetan led by a pengimbul / dalang. In janturan time, the players are generally possessed by a spirit (indhang) with different characters and behavior, and the process of returning to their consciousness is carried out by the pimbul. Currently, ebeg is not only played by men, some groups also often feature female ebeg dancers and musicians.